Langit di rabu pagi itu terlihat sangat cerah. Orang – orang yang
berlalu lalang mengantarkan jenazah ke peristirahatan terakhirnya pun masih
tersisa beberapa. Masih jelas terlihat rona kesedihat di mata suami dan anak –
anaknya. Hari hari yang amat panjang pun menyambut mereka tanpa didampingi
sesosok wanita tegar bernama ‘Aliyyah. Ya. Aliyyah nama yang sederhana namun
memiliki makna yang snagat terhormat,”tempat yang paling tinggi”. Setinggi
kedudukanya sebagai seorang ibu. Ia lahir di kota udang 4 november 57 tahun
silam. Kemudian melanjutkan kehidupanya di kota indramayu sebagai seorang ibu
dari sembilan anaknya. Ia adalah seorang
ibu yang sangat sederhana, selalu menganakan “tapih” dan baju yang ia
bikin sendiri. Ia tak seperti ibu – ibu kebanyakan yang selalu berhias dan ngerumpi
bareng dengan teman – teman sebayanya di warung atau perkumpulan ibu – ibu
lainya. Tiap hari ia menghabiskan harinya hanya dirumah saja. Hampir tak pernah
kluar sama sekali. Terkecuali ada kepentingan yang memang mengharuskanya keluar
rumah. Ia mendidik sembilan anak – anaknya dengan disiplin kemiliteran. Ya.
Tegas. Tanpa dimanja. Karakternya yang demikian yang membuat anak – anaknya
sangat segan dan patuh terhadapnya. Tugasnya sama seperti ibu – ibu kebanyakan.
Mendidik anak hingga anaknya dewasa.
Didikanya tak tanggung – tanggung. Ia akan mengeraskan suaranya ketika
ada salah yang dikerjakan anaknya. ia
selalu mengajarkan anaknya bisa membaca Al Quran dari usia yang sekecil
mungkin. Motifasinya hanya satu. Ingin melihat anak anaknya sukses denganjalan
yang ditempuhnya masing – masing. Ia yang sangat perfeksionis mengharuskna anak
–anaknya melakukan semua kegiatan dengan benar. Tanpa salah sedikitpun. Harus.
Terlebih persoalan ibadah.
Namun setahun
belakangan ia terlihat mulai melamun dari hari kehari. Penyakit dan kondisi
psikologis yang kurang baik yang ia
alami sekarang membuat aura muka dan fisiknya lemah dan berbeda seratus delapan
puluh derajat dari biasanya. Gula darah yang menggerogoti tubuhnya memaksa ia
tak bisa melakuakan hal sekecil apapun. Ya,tubuhnya kini harus selalu di topang
dengan kursi roda. Setengah tubuhnya terkena struk akibat penyait tersebut.
dengan kondisinya yang demikian tak membuatnya absen dalam melakukan ibadah.
Ketika ia batal pun ia meminta seorang anak nya untuk mengantarkanya kembali ke
kamar mandi dan melakukan wudlu yang berulang. Meskipun kondisinya sangat tak
memungkinkan untuk melakukan kegiatan apapun,namun ia masih rutin melakukan
sholat di sepertiga malamnya. Pernah suatu ketika ia memaksa seorang anaknya
untuk mengantarnya wudlu dan kemudian mengambil alquran,sampai pada halaman
depan ia menangis bak seorang anak kecil yang kehilangan lollipopnya. Ya ,ia
menangis karna mulut dan otaknya sudah tak kuasa membaca dan melantunkan ayat
–ayat suci. Padahal sebelum tubuhnya demikian,tiap waktu sehabis sholat ia
habiskan dengan membaca Al Quran di ruang tengah. Kian hari penyakitnya
menggerogoti semua badanya. Tubuhnya sudah sangat jauh kurus dibanding kan saat
ia sehat. Wajahnya terlihat sangat pucat dan mulutnya tak mampu lagi untuk
menelan sebutir nasi. Dalam kurun waktu satu tahun itu pun keluarga berusaha
untuk mengobatinya dengan harapan bisa sembuh seperti sedia kala. Dari mulai medis
hingga aalternatif. Tak ada yang mampu mengobatinya.
Sampai pada tiba
waktunya,kondisinya sudah sangat enghawatirkan dan keluarga memutuskan untuk
membawany ke rumah sakit. Dokter menyarankannya untuk langsung masuk ICU karna
memang sudah tak memungkinkan untuk rawat inap biasa. Di ruang IGD Saat itu,ia
terlihat mencari – cari pegangan tangan. Seolah takut ditinggalkan oleh
anaknya. ia dengan sangat bersusah payanhnya mencari genggaman itu karna banyak
alat – alat yang masuk ke dalam tubuhnya. Matanya terus mengeluarkan sungai
kecil itu. Air matanya mengalir. Matanya berbicara seolah ia tak ingin jauh
dari keluarganya. Seorang anaknya yang menemaninyapun tak kausa menahan tangis
melihat ibu nya demikian. Tak tahu obat apa yang dimasukan kepadanya,yang jelas
ia terlihat tidur pulas di ruang ICU itu. Dua malam berada di rumah sakit
tersebut memutuskan agar keluarga membawanya kembali kerumah. Terlebih suaminya
sangat inging teru berada disampingnya untuk setiap saat melantunkan ayat suci
di telinganya. Sore menjelang magrib 23 april. Terlihat rumahnya sepi dan hanya
ada dua orang anak dan suaminya dan beberapa tamu yang tengah menjenguk
Aliyyah. Pulang dari rumah sakit membuatnya tak mendapatkan perawatan apapun.
Tubuhnya panas tinggi dan Hanya tabung oksigen yang membantunya untuk bernafas.
Namun sore itu ketika salah seorang anak memegang telapak kakinya. Ia hanya
membatin dalam hati “dingin”. Namun anaknya masih optimis dengan masih adanya
aharapan hidup untuk ibunya. Ketika salah satu anaknya keluar untuk menjemur
pakaian. Tiba – tiba kegaduhan terjadi dari dalam rumahnya. Ia sontak lari dan
ternyata ibunya terlihat akan mengehembuskan nafas terakhirnya. Ia lari mencoba
mencari sodaranya yang lain. Sampai pada masanya, suaminya mencoba membisikan
kalimat”laa ilaaa haa illallaah di telinganya”. Ia pun menutup mata di sore
hari menjelang magrib itu. Manusia boleh saja berusaha sekuat tenaga,namun
tetap tuhan yang mampu memutuskan di atas segalanya. Selamat jalan,selamat
datang surga dan kehidupan yang hakiki.